MS Aceh Menerima Rombongan Persatuan Peguam Syar’ie Malaysia
Banda Aceh - Kamis (27/03/2014) Mahkamah Syar’iyah Aceh menerima kedatangan rombongan Persatuan Peguam Syar’ie Malaysia (PGSM), Kedah Darul Aman, berjumlah 18 orang peserta, yaitu para Pengacara Syar’ie dari Negeri Kedah, Malaysia. Kedatangan rombongan dari Negara jiran tersebut disambut langsung oleh Wakil Ketua, Hakim Tinggi, dan Panitera/Sekretaris Mahkamah Syar’iyah Aceh. Selanjutnya diadakan Pertemuan secara resmi yang bertempat di Ruang Zainal Abidin Abubakar, Lantai II, Mahkamah Syar’iyah Aceh, dipandu oleh Drs. H. Rafi’uddin, M.H. yang juga sebagai salah seorang Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Aceh tersebut.
Perkenalan dari rombongan para tamu ini disampaikan langsung oleh Pimpinan rombongan, H. Ahmad Taufiq, dengan penuh penghormatan. beliau menyampaikan bahwa sebetulnya mereka sudah lama merencanakan untuk berkunjung, bersilaturrahmi dan sekaligus menuntut dan menimba ilmu tentang pelaksanaan Syari’at Islam di negeri bertuah, yang juga sering dijuluki dengan nama “Serambi Mekah” ini.
Mengawali penyampaian informasi ini, Drs. H. Rafi’uddin, M.H. memberi penjelasan bahwa, Mahkamah Syar’iyah Aceh ini merupakan Pengadilan Tingkat Banding atau di Malaysia mungkin yang dikenal dengan “Mahkamah Rayuan”, mempunyai 18 Hakim Tinggi, dengan “Kaki Tangan” (Pegawai, red) berjumlah 60 orang.
Dalam kesempatan ini Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Drs. H.M. Jamil Ibrahim, S.H., M.H. menyampaikan beberapa hal penting yang menyangkut dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah Aceh. Disamping itu, sekilas juga beliau mengupas sejarah masa lalu, bahwa antara Aceh dan Malaysia bukan hanya sebatas bangsa serumpun yang diikat oleh sejarah, adat istiadat dan budaya yang Islami, namun juga sudah menjalin persahabatan sejak masa raja Aceh yang sangat populer dan dikenal dunia, yakni Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam yang juga pernah mempersunting seorang Putri dari Kerajaan Pahang – Malaysia, yang kemudian dikenal dengan panggilan “Putroe Phang”.
Bapak Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Drs. H. M. Jamil Ibrahim, S.H., M.H., yang saat ini juga sedang menyelesaikan Disertasinya pada UIN.Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, dalam kesempatan ini menyampaikan bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh menduduki posisi yang sangat strategis dan mempunyai landasan yuridis yang kuat sebagai payung hukumnya, baik Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 dan beberapa Qanun Syari’at Islam sesuai dengan amanah Undang-undang di atasnya.
Kekuasaan dan kewenangan yang diberikan itu telah dilaksanakan secara bertahap, meskipun pada awalnya terdapat kendala-kendala, karena Hukum Acara Jinayat belum ada, akan tetapi kendala tersebut telah dapat diatasi dengan disahkannya Qanun Pemerintah Aceh No.7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayah dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Desember 2013.
Dewasa ini Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah mendapat tugas tambahan dengan wewenang baru di bidang Jinayat disamping tugas-tugas yang bersifat Nasional yang berlaku untuk semua Pengadilan Agama. Dan dapat dikatakan bahwa Mahkamah Syar’iyah Aceh adalah lembaga Peradilan Agama yang wewenangnya diperluas dengan wewenang baru sebagaimana disebutkan pada salah satu Pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Pada kesempatan ini juga diadakan diskusi dalam rangka tukar pikiran tentang pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh dan Malaysia yang dipandu oleh Drs. Rafi’uddin, M.H. dan kedua pihak sangat serius mengikutinya, sambil mereka juga dapat menyaksikan cuplikan video pelaksanaan hukuman cambuk beberapa waktu yang lalu di beberapa Kabupaten/Kota, yang ditampilkan pada sebuah layar monitor.
Atas pertanyaan dari beberapa peserta rombongan, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh juga menjelaskan bahwa, di Indonesia termasuk Aceh dapat atau dibenarkan Hakim perempuan untuk menyelesaikan perkara Jinayat (pidana). Dan dalam pelaksanaan hukum cambuk sering orang luar memandang hal ini kelihatan sadis, akan tetapi sebenarnya lebih kejam dan sadis lagi apabila seorang terdakwa atau terpidana dikurung (dipenjara) sampai berbulan-bulan bahkan bertahun di dalam penjara, yang akan membuat tersiksa batinnya dan membuat teranianya keluarganya.
Berdasarkan pengalaman selama ini, pelaksanaan hukum cambuk tidak dianggap sebagai hukuman yang berat, bahkan orang-orang non Islam pernah meminta supaya kepada mereka juga diberlakukan hukum cambuk. Tetapi ketika itu belum ada aturan yang membolehkannya sebelum lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006. Akan tetapi dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tersebut telah ditegaskan dan dibenarkan bagi yang non Islam untuk menundukkan diri pada sistim hukum Pidana Islam secara suka rela, yang jelasnya mereka tidak dipaksakan menundukkan diri kecuali bagi mereka yang datang ke Aceh harus menghormati Syari’at Islam.
Kesan indah dalam pertemuan tersebut, sepakat untuk sama menjaga Syari’at Islam dapat terus berjalan dengan baik dan diharapkan agar ada hubungan antara Aceh dan Malaysia dalam rangka pelaksanaan Syari’at Islam di kawasan bumi Melayu. Selanjutnyaacara ini ditutup dan diakhiri dengan saling menukarkan cindera mata serta foto bersama.
Sumber: http://www.ms-aceh.go.id/
-
Meski Covid-19, Aceh Masih Bisa Berbuat Lebih Baik untuk Pertumbuhan Ekonomi
Kamis, 23 Juli 2020 -
Pemerintah Keluarkan Edaran Libur Idul Adha
Kamis, 23 Juli 2020 -
Sektor Pariwisata Aceh Harus Siapkan Diri dengan Konsep New Normal
Kamis, 23 Juli 2020 -
Tujuh Pasien Covid-19 Sembuh, Hasil Tracing Ditemukan Tujuh Kasus Baru
Kamis, 23 Juli 2020 -
Plt Gubernur Bersama Kepala SKPA Gelar Do’a untuk Kesembuhan Pasien Covid-19 Secara Daring
Rabu, 22 Juli 2020