Selamat Datang di Situs Resmi Pemerintah Aceh

Gubernur Zaini Buka Sosialisasi MoU Helsinki untuk Wartawan

Pemerintahan Jumat, 15 Agustus 2014 - Oleh

uupaGubernur Aceh dr H Zaini Abdullah, Kamis (14/8,  membuka secara resmi kegiatan Sosialisasi Kebijakan Politik Pemerintah Aceh bertajuk “Implementasi MoU Helsinki dan UUPA” untuk para insan Pers Aceh, di Aula Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Banda Aceh.

Acara yang diprakarsai PWI Aceh bersama Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh ini turut dihadiri, antara lain, Ketua PWI Aceh Tarmilin Usman, Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh Nasir Salba, Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh Murthalamuddin, Ketua KNPI Aceh Jamaluddin M Jamil, para wartawan senior, jajaran Pengurus PWI Aceh, para narasumber, M jakfar M.Hum dan Iranda Novandi, serta diikuti puluhan insan pers peserta kegiatan tersebut.

Tarmilin Usman mengaku, kegiatan seperti ini sudah sering dilakukan, namun kali ini punya makna tersendiri. Ada makna dan momentum lain, katanya, sebab acara yang dihadiri “Aceh 1“ ini juga dirangkai dengan pengdekralarisan Forum Wartawan Pengawal UUPA (PWP-UUPA) Aceh.

Menurutnya, keberadaan UUPA adalah milik bersama masyarakat Aceh bukan segelintir orang atau kelompok, sebagaimana yang terkesan selama ini. Hal seperti inilah yang harus terus disosialisasikan termasuk kepada para wartawan, sehingga nantinya, kalangan Pers mengetahui dan memahami isi UUPA.

“Kalau dulu ada sebutan Geutanyoe ban mandum, sekarang sudah milik Kamoe mandum. Kami itu kecil, yang mengandung arti bukan kita semua. Jadi seolah-olah UUPA sudah kita bongsai dan kita kerdilkan padahal UUPA ini lahir setelah puluhan tahun masyarakat Aceh, termasuk kalangan Pers melakukan protes,” ungkap mantan anggota DPRD Pidie itu.

Bahkan, tambah Tarmilin, Gubernur Aceh Zaini Abdullah puluhan tahun harus mengasingkan diri ke luar negeri. “Dari sejarah-sejarah itulah, lahirnya UUPA ini, maka mulai hari ini dengan terbentuknya FWP UUPA, mudah-mudahan mendapat tempat tersendiri dalam Pemerintahan Aceh,” tandasnya.

Tarmilin berharap, embrio FWP UUPA akan terus tumbuh hingga dewasa dan mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Aceh.“Karena kami ini serius pak, para wartawan ini serius. Karena kami melihat selama ini beberapa qanun dan turunan UUPA masih tersendat-sendat. Juga colling down dengan pemerintah Pusat. Jadi, kami ingin menggebrak itu,” tegasnya.

Lebih lanjut ia mengemukakan, sejak konflik Aceh puluhan tahun silam para wartawan punya peranan besar yaitu berjuang dalam menyuarakan dan menempatkan diri untuk membela kepentingan rakyat. “Malah tidak sedikit Wartawan-wartawan Aceh yang terintimidasi, terbunuh dan macam-macam peristiwa menyedihkan pada saat itu,” ujar Tarmilin, mengisahkan ‘tragedi duka Aceh’ masa lampau.

Wartawan Juga Pejuang di Masa Lampau

Gubernur Zaini Abdullah mengatakan, Wartawan adalah pejuang Aceh masa lampau. Selain mengalami kepedihan, wartawan juga rela ‘menyumbangkan nyawanya’ untuk bersama-sama dalam perjuangan apapun dimasa lampau. “Dalam perjuangan memakai senjata dulu, banyak kita lihat wartawan meninggal bersama gerilyawan dan pejuang-pejuang lainnya. Dulu berperang memakai senjata, kalau sekarang memakai pena,”kata Doto Zaini.

Era sekarang, lanjutnya, wartawan, LSM dan rakyat harus seiring dan sejalan dengan Pemerintah untuk memperjuangkan pembangunan dan membereskan kekhususan Aceh. “Bahkan, seperti membiarkan saya sendiri, pontang panting kesana kesini, antara Jakarta dengan Banda Aceh, kadang-kadang seperti pengemis. Tapi ini merupakan tugas dan tanggungjawab saya. Saya salah seorang yang telah berjuang dalam proses itu, sekarang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk berdiri didepan, maka salah satu yang penting bagi saya adalah memperjuangkan UUPA ini,” curhat Zaini Abdullah di depan para insan Pres.

Zaini Abdullah mengajak, semua elemen masyarakat Aceh seriring memperjuangkan hal tersebut sebab  UUPA milik semua komponen rakyat Aceh. “Selama ini kita melihat, seolah-olah memperjuangkan turunan UUPA tersebut hanyalah kewajiban Pemerintah Aceh semata. Jangan sampai timbul anggapan bahwa itu hanya kepentingan para mantan GAM, tapi itu merupakan konsensi perdamaian yang menjadi hak seluruh rakyat Aceh,” ujar Gubernur.

“Pada masa-masa lalu, selama 2 tahun saya dibiarkan berjalan sendiri. Tapi ndak apa-apa, sebab ini hari saya cukup bangga. Rekan-rekan para wartawan semua ikut serta memikirkan persoalan ini. Moment ini merupakan pertemuan yang luar biasa,”tambahnya.

Kepada hadirin, Gubernur bertanya; mengapa sosialisasi MoU Helsinki masih dilakukan, padahal perjanjian damai ini sudah berjalan di Aceh selama hampir 9 tahun?

Pertanyaan ini tentu wajar-wajar saja, kata Zaini Abdullah, sebab MoU Helsinki ini sudah berkali-kali dibahas dalam berbagai pertemuan. Namun harus diakui pula, tambahnya, meskipun sudah berkali-kali dibicarakan, ternyata masih banyak  masyarakat Aceh yang belum memahami substansi dari MoU tersebut.

“Mereka hanya tahu soal istilah MoU Helsinki, tapi tidak paham apa poin-poin penting yang terkandung di dalamnya. Bukan hanya masyarakat, aparatur pemerintahan juga ada yang tidak paham masalah ini,” ucap Doto Zaini, sapaan Akrab Gubernur Aceh.

Gubernur berharap, poin-poin yang telah disepakati yang kemudian dituangkan dalam UUPA harus terimplementasikan dengan tuntas, tidak boleh tersendat-sendat lagi. “Bek tulak tong tinggai tem, sapeu tan, hasilnya, nol. Ini tidak boleh sebab perjanjian itu mahal. Aceh sudah lama menderita dan mengalami konflik demi konflik. Jadi, saya berharap apa yang telah disepakati di Helsinki dulu segera diimplemetasikan. Persoalan regulasi yang saat ini masih berantuk antara Aceh dengan Jakarta bisa direalisasikan,” pungkas Zaini.

“Saya juga meyakini, Pemerintah Pusat tetap concern untuk menyelesaikan semua persoalan ini, termasuk PP,” imbuhnya.

Microfon Berontak

Saat merefleksikan kisah konflik Aceh sejak era 50-an tiba microfon bergeser dari gagangnya. “Mic berontak,” ujar Doto Zaini, disambut tawa lepas hadirin dan puluhan tamu undangan.

Gubernur juga menjelaskan, jika dilihat dari isinya, MoU Helsinki terbagi dalam enam bagian, yaitu: (1) Soal penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, (2) Penegakan Hak Azazi Manusia, (3) Pemberian Amnesti kepada anggota GAM, yang diperkuat dengan kegiatan Reintegrasi, (4) Sistem Pengaturan keamanan, (5) Pembentukan tim monitoring  dan (6) Penyelesaian perselisihan.

Dari enam poin ini, tegas Gubernur, sebagian sudah terlaksana,  misalnya Amnesti, reintegrasi, tim monitoring dan penyelesaian perselisihan, namun ada pula beberapa poin penting yang belum berjalan.

“Soal penyelenggaraan Pemerintahan Aceh misalnya, masih  ada sejumlah PP dan Perpres yang menjadi turunan dari UU Pemerintahan Aceh yang belum tuntas. Perlu saya tegaskan, perdebatan yang muncul bukanlah untuk mengganggu perdamaian, tapi untuk menyempurnakan perdamaian itu sendiri.  Kita percaya, Pemerintah Pusat tetap memberi dukungan penuh bagi perdamaian di Aceh,” katanya.

Meski demikian, tambah Gubernur Zaini, adalah wajar jika kita terus melakukan evaluasi  atas perkembangan implementasi perdamaian Aceh. “Saya sependapat dengan Mendagri yang mengatakan masih banyak masalah penting yang harus diselesaikan di Aceh selain masalah MoU Helsinki dan UUPA. Namun sekecil apapun persoalannya, jangan sampai kita abaikan, apalagi jika menyangkut harga diri rakyat Aceh,” tandasnya.

Zaini merincikan, selain masalah bendera, ada sejumlah poin penting lain dalam MoU Helsinki yang belum berjalan dengan baik, antara lain: Pembentukan Pengadilan HAM h  (Pasal 2.2), Pembentukan KKR di Aceh (Pasal  2.3) dan Pembentukan Komisi Penyelesaian Klaim (pasal 3.2.6). Dari ketiga butir itu, ungkapnya lagi, satupun belum terlaksana. Bahkan untuk KKR Aceh, DPRA terpaksa mengambil inisiatif mensahkan Qanun KKR Aceh, meski seharusnya aturan hukum ini diterbitkan melalui Undang-Undang.

“Belakangan, qanun inipun ditolak oleh Pemerintah pusat.  Mereka mengatakan harus dibentuk dulu UU KKR secara nasional. Pertanyaannya, Kalau UU KKR belum selesai, apakah KKR Aceh tidak jadi dibentuk? Padahal menurut UUPA, KKR Aceh seharusnya sudah bekerja setahun setelah UU itu disahkan. Artinya, sejak Agustus 2007 KKR Aceh sudah ada. Nyatanya sampai sekarang belum ada,”

“Saya tidak ingin memperdebatkan soal ini, tapi sekedar memberi gambaran bahwa MoU Helsinki memang masih banyak yang lemah dalam konteks implementasi. Aceh sudah damai, berdamai dibawah NKRI, Gerakan Aceh Merdeka sudah menyatakan dibawah NKRI, dan saya adalah salah satu jaminannya,” kata Gubernur Zaini.

Komandan PWI, Bantu Dobrak ini….

“Banyak yang mencegat saya menanyakan hal UUPA, baik di pendopo atau di tempat lain. Saya merasakan apa yang mereka rasakan. Kita akan tuntaskan ini bersama-sama.Bantu saya. Bantu kami Pemerintah, kita tidak berontak tapi yang kita tuntut adalah keadilan.  Ini bukan keperluan Zaini Abdullah tapi kepentingan kita semua. Supaya rakyat Aceh bisa menikmati kesejahteraan,” ujar Zaini Abdullah.

Kepada insan Pers, Gubernur mengajak untuk terus memberikan masukan dan mengawal dinas-dinas/SKPA lingkup Pemerintah Aceh dalam merealisasikan program-programnya.

Sambil bercanda, Gubernur mengatakan, “Kritik kontruktif akan selalu kita terima tapi bukan yang destruktif. Bek lagee ureung maen bhan, choet gateh. Meuleungkop teuh inan,” candanya, yang kembali disambut tawa lepas hadirin.

Dalam kesempatan tersebut, Gubernur  Zaini juga mengatakan hasrat dan keinginannya untuk berbicara langsung dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyampaikan hal urgen terkait UUPA. Menurutnya, ditataran Kementerian RI belum sepenuhnya memahami ‘roh’ dari MoU Helsinki.

“Surat sudah kita layangkan kepada beliau, tapi hingga saat ini belum ada panggilan. Kita harapkan ada jawaban sesegera mungkin, karena yang memutuskan adalah bapak Presiden. Komandan PWI, tolong dobrak ini,”  tandasnya, kembali disambut tawa hadirin. Zaini Abdullah juga berharap, para wartawan sebagai mata dan telinga public untuk terus memperkuat sosialisasi UUPA ke tengah-tengah masyarakat.

Sumber : http://humas.acehprov.go.id

 

Last Update Generator: 01 Nov 2025 23:06:34